Jakarta, CNBC Indonesia – Salah satu hal yang paling menonjol dalam politik di Asia adalah keluarga. Media asing pun menyorot banyaknya “nepo baby” yang berpartisipasi dalam pemilihan umum di negara-negara wilayah tersebut.
“Nepo baby”, kependekan dari nepotism baby atau bayi nepotisme, adalah istilah yang mengacu pada anak-anak yang telah berhasil dalam karir yang mirip dengan orang tua mereka.
Melansir The Economist, tiga dari empat presiden terakhir Filipina adalah anak-anak presiden terdahulu. Di Kamboja, Hun Sen, orang berkuasa yang memerintah sejak tahun 1985, baru-baru ini menyerahkan jabatan perdana menteri kepada putranya, Hun Manet. Sementara itu, Korea Utara hanya mengenal tiga generasi dari keluarga penguasa yang sama.
Kebanyakan keluarga bertekad untuk tetap berkuasa di negaranya. Lantas, dinasti politik bukanlah hal baru. Asia juga tidak dapat mengklaim monopoli atas produk-produk dinasti tersebut. Mereka telah terbentuk di hampir setiap benua. Namun sulit membayangkan negara Asia yang tidak ternodai oleh hal-hal tersebut.
Tidak ada tempat lain yang begitu giat dikembangkan oleh para dinasti dan para pendukungnya, sehingga kekuasaan yang diwariskan oleh keluarga adalah “penjamin” terbaik bagi perdamaian sosial dan penyebaran kemakmuran. Tetapi, klaim yang sangat keliru ini mempunyai dampak yang sangat buruk terhadap perekonomian kawasan dan kemampuan mereka untuk tumbuh.
Memang benar, nepo baby tengah mengkonsolidasikan kekuasaan. Pada bulan Januari, Sheikh Hasina, putri pendiri Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman, berhasil terpilih kembali sebagai perdana menteri. Salah satu hal yang dia lakukan adalah dengan menjebloskan pihak oposisi, yakni musuh lamanya, Khaleda Zia yang merupakan kepala klan saingannya, mendekam dalam tahanan rumah. Rahman pun bersikeras bahwa pemilu tersebut berlangsung bebas dan adil.
Di Pakistan pada bulan Februari, Sharif dan Bhutto-Zardaris, dua dinasti politik yang bersaing dan secara historis bergantian berkuasa akhirnya menyatukan kekuatan, dengan dukungan tentara yang kuat, untuk mengalahkan tokoh dari non dinasti Imran Khan pada pemilu.
The Economist juga menyorot pemilihan presiden Indonesia bulan Februari lalu, yang meraih “kemenangan dari aliansi keluarga.”
Prabowo Subianto, seorang jenderal di era mendiang presiden Suharto yang juga mantan suami putri Suharto, memenangkan kursi kepresidenan. Publikasi asal Inggris tersebut menyoroti keputusan Prabowo yang memilih putra Jokowi, presiden populer yang mengakhiri masa jabatannya, sebagai pasangannya. Padahal pada tahun 2014, Jokowi menegaskan bahwa menjadi presiden “tidak berarti menyalurkan kekuasaan kepada anak-anaknya sendiri.”
Tentu saja, aliansi juga bisa terpecah. Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos adalah putra mantan presiden, yang juga bernama Ferdinand, yang menjadi diktator sebelum digulingkan dalam revolusi kerakyatan pada tahun 1986. Wakil presidennya, Sara Duterte, adalah putri presiden sebelumnya. Aliansi kurang akur yang membawa mereka berkuasa pada tahun 2022 telah berubah menjadi perselisihan terbuka.
Sejarah telah berperan dalam membuat Asia rentan terhadap pemerintahan dinasti. Di Filipina, banyak keluarga politik yang berasal dari masa kolonialisme. Setelah kemerdekaan, keluarga-keluarga kaya merampas tanah yang tidak mampu dibeli oleh orang-orang miskin di Filipina.
Berbagai klan, termasuk klan Marcos, mengembangkan lahan tanah yang luas (hacienda). Empat presiden sejak tahun 2001 berasal dari kelas pemilik tanah ini. Ronald Mendoza dari Universitas Ateneo de Manila menghitung bahwa 78% gubernur, 73% anggota kongres, dan 57% walikota berasal dari keluarga yang memiliki lebih dari satu anggota yang memegang jabatan politik.
Kepemilikan tanah juga berperan dalam menonjolnya keluarga politik di Pakistan dan Bangladesh. Sebaliknya di India, dinasti merupakan produk elite demokrasi pasca kemerdekaan. Hal ini terutama terjadi pada keluarga Nehru-Gandhi yang telah melahirkan tiga perdana menteri, dimulai dari perdana menteri pertama, Jawaharlal Nehru. Cicitnya, Rahul Gandhi kini memimpin Kongres dengan partai oposisi utama. Meskipun ia tampaknya akan dikalahkan dalam pemilu India mendatang).
Dampak nepotisme bisa sangat besar, seperti yang terlihat di Korea Utara yang sangat miskin. Di Filipina, penelitian yang dilakukan Mendoza dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa di wilayah yang lebih makmur, seperti Luzon di utara, keluarga politik mendorong pembangunan ekonomi, namun juga memperluas kekayaan dan pengaruh mereka. Batasan reformasi tercapai ketika kepentingan mereka dan kroni-kroni mereka terancam. Makalah Mendoza menyebut para politisi dinasti ini sebagai “bandit yang diam”.
Sedangkan untuk Pakistan, makalah yang ditulis oleh Ayesha Ali dari Universitas Lahore, menyoroti bagaimana, setelah bencana banjir nasional pada tahun 2010, belanja pembangunan sepersepuluh lebih rendah dibandingkan rata-rata di daerah pemilihan yang dijalankan oleh dinasti politik.
Di India, pemerintahan dinasti menurunkan pertumbuhan cahaya yang muncul di malam hari, yang merupakan proksi aktivitas ekonomi, yakni sebesar 6,6 poin persentase per tahun. Hal ini diungkapkan oleh sebuah makalah yang ditulis oleh Siddhart Eapen George dan Dominic Ponattu.
“Agar bisa bersinar, Asia perlu menyingkirkan dinasti-dinastinya,” tulis artikel The Economist, dikutip Sabtu (6/4/2024).
Artikel Selanjutnya
Ganjar In Action, Sedot Perhatian di Dialog Apindo Capres
(fsd/fsd)